Mengelus Ikon Pringsewu
Krisis moneter mendorongnya untuk beternak kalkun. Banyak kendala yang dihadapi, tapi ia tidak menyerah.
Dalam meraih cita-cita, kadang-kadang menemui ganjalan. Hampir putus asa. Hal itulah dialami Bambang Cahyo dalam beternak kalkun. “Kalkun ini belum dimasukkan dalam program pemerintah,” kata teman Baran Wirawan, Sekretaris Menteri Pertanian, itu. Bambang dan Baran sama-sama alumnus Jurusan Agronomi, Fakutas Pertanian IPB.
Belakangan ini, kegigihan anak ke-11 dari 12 bersaudara dari pasangan Sukarno dan Umi Kusminah itu mulai dilirik Dinas Peternakan Kabupaten Pringsewu, Lampung. Bahkan ingin menjadikan kalkun sebagai ikon kabupaten hasil pemekaran itu. “Kalkun ini akan dijadikan ikon,” kata Dancik Ibrahim, Kepala Kantor Penyuluhan Pringsewu.
Krisis moneter
Kecintaan Bambang pada kalkun dimulai ketika krisis moneter, 1998. Sebagai pemasok alat-alat teknik, usahanya ikut limbung. Ia berkeliling ke supermarket-supermarket di Jakarta. Waktu itu ia lihat harga karkas (5—6 kg per ekor) kalkun Rp250 ribu sampai Rp300 ribu. Karkas 8 kg harganya Rp600 ribu. “Kok, (kalkun) impor,” kenang Bambang, yang kini beternak kalkun di Desa Sukoharjo I, Kec. Sukoharjo, Pringsewu, Lampung.
Pria kelahiran Purwokerto, Jateng, ini mulai mengumpulkan informasi tentang kalkun. Tekstur dagingnya lebih bagus ketimbang ayam. Ternyata kandungan proteinnya tinggi. Kandungan lemaknya rendah. Lemaknya tergolong tidak jenuh dan lebih berguna seperti Omega-6 dan Omega-9. “Kandungan Zn-nya dapat meningkatkan vitalitas,” kata penganut agama Katolik itu saat ditemui di lokasi peternakan kalkunnya (12/11).
Lantas, ia mulai mencari kalkun ke Cirebon, Bogor, Lampung, dan sebagainya. Suami dari Maria Mustika Jati ini memulai dengan 25–30 ekor. Kalkunnya meningkat menjadi 200 ekor. Kemudian ia tergoda kembali menjual alat-alat teknik setelah krisis ekonomi mulai pulih. Karena tidak ada yang mengurus, kalkunnya hanya tersisa 20 ekor.
Digusur
Semula ia beternak kalkun di Sukoharjo, Pringsewu. Kemudian pindah menyewa tanah di Tanjungkarang. Karena menjadi perumahan Palm Permai, kandang kalkunnya digusur. Lantas pindah ke Way Kandis, fasilitas milik pemerintah. Tahun 2002 kalkunnya terkena flu burung. Hanya tersisa 15 ekor. Empat tahun kemudian kalkun menjadi 2.000 ekor. Malangnya, pada 2006, kalkunnya kembali terserang flu burung dan hanya tersisa 11 ekor. Setelah itu, dari hasil menabung, ia membeli lahan satu hektar di Desa Sukoharjo I.
Karena sudah mengerti kalkun, akhirnya ia memulai berkonsentrasi pada penetasan sampai umur dua bulan. Sedangkan pembesaran, di atas umur dua bulan, diserahkan kepada mitranya, yang tergabung dalam Mitra Alam Jaya, sub-kelompok kalkun dari Kelompok Tani Sido Muncul. November lalu sub-kelompok kalkun ini mulai dilirik PUM Expert, relawan dari Belanda. “Bantuan konsultasi, peningkatan mutu, termasuk bibit atau sperma (kalkun) secara gratis,” kata orang yang tampak kalem dan tenang ini.
Sebelum kedatangan relawan dari Belanda ini, ia sempat putus asa. Dananya mulai kembang-kempis, sehingga ia harus menjual kalkunnya yang masih muda. “Tuhan, kalau engkau memang tidak menghendaki aku memelihara kalkun, habiskanlah hari ini,” kata Bambang dalam doanya. “Sebelum ada relawan ini saya udah mentok. Cari dana nggak dapat-dapat,” kata peternak yang lebih akrab dipanggil dengan Bambang Kalkun.
Menguntungkan
Pasar kalkun cukup lumayan. Beberapa hotel dan rumah makan di Lampung sudah biasa menyajikan masakan dari kalkun. Misalnya Hotel Sheraton dan Rosemary Steak. Selain hotel dan rumah makan, taman perburuan Cikidang, Sukabumi, Jabar, juga mengambil kalkun dari Mitra Alam Jaya ini. Beberapa LSM dari Yogyakarta ingin membeli kalkun yang akan diberikan kepada penduduk yang mau direlokasi akibat letusan Gunung Merapi. “Mereka minta, bagi (penduduk) yang mau direlokasi, akan diberikan kalkun untuk dipelihara,” katanya. Ada juga permintaan dari Kalimantan.
Memang kalau dilihat dari analisis usaha, pembesaran kalkun ini cukup menjanjikan. Dengan skala 200 ekor dan masa pembesaran satu bulan, dari yang berumur dua bulan, bisa menghasilkan Rp15,2 juta. Setelah dipotong biaya dan penyusutan diperoleh pendapatan hampir Rp5 juta. “Saya yakin, usaha pembesaran sangat menguntungkan,” tuntas Bambang yang pernah menjadi konsultan di Departemen Pertanian, Jakarta, ini.
Syatrya Utama dan Abdul Hamid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar